Teori Konflik
Konflik berasal dari bahasa latin, “conflictus” yang artinya pertentangan. Definisi konflik menurut para ahli sangatlah bervariasi, tetapi secara umum konflik dapat digambarkan sebagai benturan kepentingan antar dua pihak atau lebih. Dalam buku Strategi Politik (2003), Peter Schoder menyebut, istilah “conflict” jika merujuk kata aslinya punya makna “suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak.” Ada banyak teori konflik yang menjelaskan tentang asal-usul konflik. Namun, secara umum teori konflik merupakan bagian dari teori sosiologi modern, yang dikembangkan oleh para sosiolog-naturalis. Salah satunya yang terkenal adalah Lewis A. Coser, yang memaparkan teori konflik dalam karyanya The Function of Social Conflict (1956).
Lewis Coser membedakan konflik menjadi 2 (dua), yakni konflik yang realistis dan yang tidak realistis. Konflik realistis adalah konflik yang berasal dari adanya kekecewaan individu atau kelompok masyarakat terhadap sistem dan tuntutan-tuntutan yang ada pada hubungan sosial. Semisal, mahasiswa melakukan demonstrasi kepada pemerintah atas kenaikan harga BBM, atau demo menolak kenaikan uang kuliah karena kecewa terhadap kampus Sementara konflik non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan persaingan yang berlawanan, tapi merupakan kebutuhan pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Contoh konflik non realistis seperti mencari kambing hitam atas permasalahan yang terjadi, sehingga kedua pihak yang konflik bisa mengurangi ketegangan, karena kesalahan dilimpahkan ke pihak ketiga.
Analisis Kasus Gerakan Mahasiswa dan Akademisi Menjelang Pesta Demokrasi Berdasarkan Teori Konflik Realistis Lewis Coser
Gerakan mahasiswa dan akademisi menjelang pesta demokrasi di pandang Coser sebagai politik yang memainkan peran dalam perubahan sosial dan politik yang terjadi karena adanya persaingan, pertentangan antar kelompok untuk sumber daya, kekuasaan atau akses dalam sosial, dan ekonomi. Menjelang pesta demokrasi biasanya menjadi manifestasi konkret terjadinya konflik yang mungkin dioorganisir sebagai bentuk demonstrasi, diskusi publik, penyelidikan, atau kampanye politik, dalam memperjuangkan hak dan tujuan masyarakat. Coser menyoroti gerakan mahasiswa dan akademisi dalam pesta demokrasi memiliki peran khusus dalam agen yang memiliki akses terhadap pengetahuan, kebebasan berpendapat, dan memiliki energi yang tinggi dalam gerakan sosial kenegaraan. Tidak hanya itu, mahasiswa dan akademisi sering sekali memiliki otoritas intelektual yang dapat digunakan dalam menganalisis, mengkritik dan menemukan solusi terhadap isu-isu yang relevan terhadap gerakan-grakan yang sering di lakukan mahasiswa dan akademisi sebagai bentuk rasa peduli terhadap Negara. Gerakan inilah yag nantinya membawa perubahan yang besar yang berlangsung dalam proses negosiasi, kompromi bahkan konfrontasi terbuka yang akhirnya membuka dinamika sosial baru.
Teori konflik realitas milik Lewis Coser ini dapat digunakan dalam menganalisis gelombang kritik di tahun trakhir bapak Jokowi Dodo sebagai presiden Demokrasi kian mendung, Mahasiswa tak terbendung. Apakah unjuk rasa mahasiswa ini akan berdampak pada pemilu 2024? Hal ini yang kemudian menjadi topik besar pada aksi unjuk rasa ini. Dosen beserta para guru besar juga menunjukan petisi keperihatinanya terhadap keadaan politik Inonesia sebelum pesta demokrasi ini. Tidak hanya dosen dan para guru besar, mahasiswa juga ikut turun kejalan sebagai aksi unjuk rasa dan kritik terhdap Jokowi Dodo. Dikutip dari Metro Tv bagaimana analisis dari gelombang kritikan yang di terima Jokowi di tahun trakhirnya menjabat sebagai presiden, “tidak sulit dan menduga bahwa reaksi seperti aksi unjuk rasa ini akan muncul melihat masyarakat banyak yang ingin politik tidak sebatas kepentingan keluarga saja, demokrasi dibuat untuk kepentingan rakyat Inodnesia. Lebih dari 130 kampus dan lebih 120 guru besar yang masuk catatan saya, melayangkan kritik terhadap bapak Jokowi terkait demokrasi yang ada bukan kepentingan keluarga melaikan untuk pengelolaan negara yang lebih”. Ucap Rey Rangkuti selaku analisis politik. “ini pesta rakyat bukan pesta keluarga” ungkap mahasiswa dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung. Respon Presiden Jokowi yang menegaskan tidak akan ikut berkampanye justru dianggap respon yang salah melihat masyarakat mebutuhkan tindakan bukan perkataan, jokowi dianggap tidak dapat membenarkan respon yang telah di berikannya itu dan tidak dapat meredam keresahan masyarakat terkait demokrasi belakangan ini.
“kalau kata-kata kita sudah sering kali mendengar kata-kata yang baik dan indah dari presiden yang bermunculan, tetapi kan fakta di lapangan yang berbeda dan malah sebaliknya. Memang tidak melakukan kampanye secara formal tapi kok bisa acara keluarganya di hari yang sama. Di Medan pada tanggal 7 Jokowi membuka jalan tol, anaknya berkampaye di Deli Serdang dan malamnya makan malam bersama dengan anggota partai politik yang di ketuai oleh anaknya , kok bisa ” tutur Rey Rangkuti. Menurutnya hal ini adalah praktik fakta yang kuat bukan sekedar kata-kata. Aksi dari civitas akademis dan mahasiswa ini membawa dampak yang cukup signifikan dalam kualitas dan tingkat kepercayaan publik yang dianggap merosot terhadap presiden dan tidak berkaitan dengan paslon yang mana pun. Ini hany berkaitan dengan presiden jokowi yang dianggap dapat mengelola negara ini yang bukan semata-mata kepentingan keluarga melaikan kepentingan negara dalam jangka pendek dapat dilihat pada pemilu bagaimana Presiden Jokowi dapat berlaku jujur, adil, negarawan dan mengayomi setiap paslon bukan salah satu paslon, tidak membeda-bedakan setiap partai politik.
Akademisi dan para mahasiswa kompak bergerak melakukan aksi unjuk rasa ini. Diantaranya mahasiswa dan alumnus Universitas Gadjah Mada Jogjakarta yang diikuti sejumlah mahasiswa dan akademisi di Indonesia. Bahkan masa mahasiswa di beberapa daerah menuntut pemakzulan Presiden Jokowi Dodo. Sejumlah perguruan Negeri maupun Swasta menuntut pernyataan sikap untuk pemilu dan pilpres berlangsung jujur dan adil. Tidak hanya itu para mahasiswa menilai kinerja presiden Jokowi Dodo mengalami kemunduran. Daftar kampus dan akademisi yang ikut menyuarakan selamatkan Demokrasi ialah : UGM, UI, UNPAD, UPI, UNHAS, UIN, UNKHAIR TERNATE, ANDALAS, UIN SUNAN KALIJAGA, LAMBUNG MANGKURAT, ATMA JAYA, MUHAMMADIYAH BABEL, MUHAMMADIYAH YOGJAKARTA, PERGURUAN TINGGI KATOLIK INDONESIA dan beragam Universitas lainya.
Tidak hanya itu ribuan mahasiswa di Surabaya tergabung dalam gerakan mahasiswa selamatkan demokrasi mengelar mimbar bebas di Universitas 17 Agustus Surabaya. Orasi ini menolak politik dinasti dan pelanggaran HAM. Mahasiswa juga membawa spanduk yang bertuliskan tolak politik dinasti, mahasiswa harus kritis, Demokrasi dinasti dan beragam poster lain sebagai aksi unjuk rasa merka. Aksi ini juga di hadiri ribuan mahasiswa dan beragam Universitas di Jawa Timur.
Aksi mahasiswa tolak kemunduran demokrasi ini juga sampai pada daerah Bekasi, Karawang Jawa Barat. Aliansi mahasiswa Bekasi Karawang melakukan aksi unjuk rasa di depan Universitas Islam 45. Aliansi mahasiswa Karawang ini menyatakan ada 5 dosa Jokowi, seperti :
– Mendukung capres pencoret mahasiswa dan pelanggar HAM
– Membangun politik dinasti
– Menghidupkan Neo Orde Baru
– Pelemahan pemberantasan korupsi
– Abai terhadap kesejahteraan masyarakat
Mahasiswa menolak campur tanggan presiden pada pilpres 2024. Dalam tuntutanya mahasiswa menilai demokrasi dalam kondisi bahaya, krebilitas negara rusak akibat etik politik yang di tabrak.
Sementara itu aliansi mahasiswa di Kebumen mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Tugu Laut. Mahasiswa menuntut tidak adanya intervensi masyarakat untuk memilih pemimpin bangsa. Aliansi yang mereka suarakan bukan untuk membela paslon mana pun melaikan untuk menuntut penyelenggara pemilu yang adil sehingga menghasilkan pemimpin yang diinginkan masyarakat, aliansi ini juga mengajak para masyarakat dan mahasiswa untuk menghindari konflik yang ada akibat perbedaan pilihan dan menghindari golput. Memilih tanpa intervensi menjadi tema aliansi mahasiswa di Kebumen ini.
Maraknya gerakan yang dilayangkan para akademisi dan mahasiswa dalam unjuk rasa dianggap sebagai kereshan mereka dengan keadaan demokrasi menjelang pesta demkrasi 2024 ini. Gerakan ini mengkritisi kebijakan pemerintah yang menurunkan demokrasi di Indonesia. Kritikan ini secara terang-terangkan di layangkan kepada pemerintah terkhusus bapak Presiden Jokowi Dodo. Mereka menyatakan titik ini bukan lagi sebuah bentuk kekhwatiran melainkan amarah dan perasaan geram dengan keadaan Indonesia sebelum pemilu ini. Penguasa melakukan pembenaran dengan mengeluarkan dalil-dalil hukum, presiden ikut berkampanye sementara itu mahaiswa dan akademisi meneliti hal yang berkaitan dengan permasalahan bangsa, kebijakan publik, instrumen, demokrasi, insitusi dan norma. Para mahasiswa melihat bagaimana narasi populis menyangkut polarasi dimanfaatkan memberikan legitimasi pada pemerintah dan parlemen untuk mewujudkan undang-undang yang dinilai ajaib.
Kasus ini kemudian dapat di analisis menggunkan teori konflik realitas Coser dalam beberapa aspek, yaitu:
Pertentangan antara kekuasaan dan oposisi
– Dari kasus gerakan akademisi dan para mahasiswa kita dapat melihat adanya pertentengan yang muncul, dari gerakan presiden Jokowi Dodo yang di anggap berkuasa dan kelompok oposisi seperti mahasiswa dan akademisi yang menolak dan mengkritis rezim dari tindakan presiden Jokowo tersebut. Kritikan atas kekuasaan ini yang pada akhirya memunculkan gerakan unjuk rasa dari mahasoswa dan akademisi untuk menyuarakan hancurnya demokrasi yang menjadi keresahan dalam masyarakat. Perubahaan dalam dinamika kepemimpinan akibat kekuasaan Jokowi menjadi sebuah pelemahan terhadap rezim.
Pertarungan Idiologi
– Konflik yang terjadi antara akademisi mahasiswa terhadap tindakan presiden Jokowi tentunya di dasari adaanya Idiologi-idiologi yang berbeda . Gerakan mahasiswa dan akademisi berupa idiologi alternatif atau reformis dalam menyuarakan suara rakyat yang mereka anggap benar. Hal ini yang kemudian menciptakan konflik dengan pemerintah terkhususnya presiden Jokowi yang dianggap mendukung status Quo. Konflik ini yang kemudian di selesaikan mahasiswa dan akademisi dngan demonstrasi atau aksi unjuk rasa baik di Universitas bahkan turun kejalan dengan merekrut beragam universitas lain dalam pengumpulan suara yang mendukung aksi unjuk rasa ini.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Gerakan mahasiswa dan akademisi menjelang pesta demokrasi di pandang Coser sebagai konflik realistis. Karena kekecewaan terhadap pemerintah menjelang pesta demokrasi 2024 Akademisi dan para mahasiswa kompak bergerak melakukan aksi unjuk rasa ini. Diantaranya mahasiswa dan alumnus Universitas Gadjah Mada Jogjakarta yang diikuti sejumlah mahasiswa dan akademisi di Indonesia. Bahkan masa mahasiswa di beberapa daerah menuntut pemakzulan Presiden Jokowi Dodo. Sejumlah perguruan Negeri maupun Swasta menuntut pernyataan sikap untuk pemilu dan pilpres berlangsung jujur dan adil. Tidak hanya itu para mahasiswa menilai kinerja presiden Jokowi Dodo mengalami kemunduran. banyak kampus dan akademisi yang ikut menyuarakan selamatkan Demokrasi. Orasi ini menolak politik dinasti dan pelanggaran HAM. Mahasiswa juga membawa spanduk yang bertuliskan tolak politik dinasti, mahasiswa harus kritis, Demokrasi dinasti dan beragam poster lain sebagai aksi unjuk rasa merka. Aksi ini juga di hadiri ribuan mahasiswa dan beragam Universitas di Jawa Timur.
Maraknya gerakan yang dilayangkan para akademisi dan mahasiswa dalam unjuk rasa dianggap sebagai kereshan mereka dengan keadaan demokrasi menjelang pesta demkrasi 2024 ini. Gerakan ini mengkritisi kebijakan pemerintah yang menurunkan demokrasi di Indonesia. Kritikan ini secara terang-terangkan di layangkan kepada pemerintah terkhusus bapak Presiden Jokowi Dodo. Mereka menyatakan titik ini bukan lagi sebuah bentuk kekhwatiran melainkan amarah dan perasaan geram dengan keadaan Indonesia sebelum pemilu ini. Penguasa melakukan pembenaran dengan mengeluarkan dalil-dalil hukum, presiden ikut berkampanye sementara itu mahaiswa dan akademisi meneliti hal yang berkaitan dengan permasalahan bangsa, kebijakan publik, instrumen, demokrasi, insitusi dan norma. Para mahasiswa melihat bagaimana narasi populis menyangkut polarasi dimanfaatkan memberikan legitimasi pada pemerintah dan parlemen untuk mewujudkan undang-undang yang dinilai ajaib.
Penulis : 1. Anastasya Lady Afifah Br. Purba/ Sosiologi/ Universitas Trunojoyo Madura
2. Ina Yatun Khoiriyah / Sosiologi/ Universitas Trunojoyo Madura